IndonesiaOne.org – Untuk pelaku usaha dan/atau pekerja yang bisnisnya dan/atau pekerjaannya terdampak Covid-19 karena ditutup sebagian atau seluruhnya, berikut ini adalah artikel yang membahas dari segi hukum, yang bertujuan sebagai edukasi dan referensi pengetahuan untuk pelaku usaha dan/atau pekerja.
Kondisi luar biasa yang terjadi dalam perekonomian Indonesia hari-hari ini sebagai akibat pandemi Covid-19 memang berdampak besar terhadap tenaga kerja di Indonesia. Per 20 April 2020, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah, mengkonfirmasi bahwa pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) dan dirumahkan sudah menembus angka 2.08 juta. Melihat kondisi saat ini, kemungkinan besar angka ini akan terus meningkat. Oleh karenanya, tulisan ini bermaksud membantu pelaku usaha – dengan skala usaha apapun – untuk bisa memahami apa saja kebijakan yang dapat diambil berdasarkan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan ketenagakerjaan. Di sisi lain, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada pekerja tentang hak-hak mereka yang dapat diperjuangkan di tengah-tengah kondisi saat ini.
Baca juga : Membedah Kekuatan Ekonomi Indonesia
PHK yang dimaksud di sini, bukan hanya PHK pada badan usaha berbadan hukum (seperti PT/Perseroan Terbatas, Koperasi, Yayasan), tetapi juga meliputi PHK yang dilakukan oleh badan usaha tidak berbadan hukum (Firma, CV, Persekutuan Perdata), badan usaha milik orang perseorangan, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pada prinsipnya PHK harus menjadi jalan keluar terakhir. Seluruh pemangku kepentingan, diantaranya pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar PHK tidak terjadi. Dari sisi pelaku usaha/pemberi kerja, berbagai kebijakan perlu diambil untuk kelangsungan usaha, tetapi juga mengusahakan agar tak satupun pekerja yang mengalami PHK.
Dengan memperhatikan dilema tersebut, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 (“Surat Edaran No. M/3 tahun 2020”). Salah satu yang diatur dalam Surat Edaran No. M/3 tahun 2020 adalah kebijakan yang dapat diambil oleh pengusaha yang harus menutup usaha, sebagian atau seluruhnya, sebagai akibat kebijakan pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha, maka besaran maupun cara pembayaran upah pekerja dapat dilakukan penyesuaian berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja. Sekalipun kesepakatan tidak tertulis juga diakui oleh hukum, namun untuk mempermudah pembuktian di kemudian hari, kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis bisa menjadi pilihan prioritas.
Dari sisi pekerja, dasar kesepakatan atas perubahan besaran upah dan tata cara pembayaran yang dipersyaratkan dapat menjadi peluang untuk mengajukan poin-poin negosiasi dengan pengusaha. Sehingga, pekerja tidak serta-merta menerima semua usulan dari pengusaha, tetapi juga memiliki hak untuk berada dalam forum diskusi dan/atau negosiasi dengan pengusaha untuk memperjuangkan hak-haknya berdasarkan hukum. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa negosiasi ini adalah usaha untuk menghindari PHK, sehingga harus juga memperhatikan keberlangsungan perusahaan.
Dalam hal pengusaha tetap mengalami kesulitan yang dapat berujung pada PHK massal, maka pengusaha diharapkan tetap memperhatikan langkah-langkah preventif sebagaimana yang tercantum dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor. SE-907/MEN-PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (“Surat Edaran No. 907 tahun 2004”).
Dalam Surat Edaran No. 907 tahun 2004 ini, ditegaskan bahwa sekalipun perusahan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka PHK haruslah merupakan upaya terakhir, setelah dilakukan upaya sebagai berikut:
a. mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur;
b. mengurangi shift;
c. membatasi/menghapus kerja lembur;
d. mengurangi jam kerja;
e. mengurangi hari kerja;
f. meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
g. tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
h. memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
Poin a-h di atas berlaku alternatif/pilihan, dengan terlebih dahulu dibahas bersama serikat pekerja/serikat buruh atau dengan wakil pekerja/buruh dalam hal di perusahaan tersebut tidak ada serikat pekerja/serikat buruh. Pembahasan tersebut bertujuan untuk mendapat kesepakatan bersama sehingga PHK dapat dicegah.
Dalam hal segala upaya telah dilakukan – kegiatan-kegiatan positif untuk mempertahankan pekerja sebagaimana yang dimaksud di atas – tetapi PHK memang tidak terhindarkan, maka ada 2 (dua) langkah PHK yang wajib diketahui oleh pengusaha dan pekerja:
(1) PHK disepakati oleh antara pengusaha dan serikat pekerja atau dengan pekerja apabila pekerja yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja.
(2) Apabila tidak tercapai kesepakatan sesuai dengan cara (1), maka PHK hanya bisa dilakukan setelah memperoleh penetapan dari Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Apabila PHK tetap harus dilakukan, pengusaha tetap berkewajiban untuk memenuhi hak-hak pekerja. Jenis perjanjian kerja berdasarkan jangka waktu (perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tentu) menjadi faktor penentu untuk hak-hak yang dimiliki oleh pekerja. Pekerja dengan waktu tidak tentu (lebih dikenal dengan “pekerja tetap”) berhak atas uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Sementara itu, untuk pekerja dengan jangka waktu tertentu (lebih dikenal dengan “pekerja sementara”), hanya berhak atas penggantian rugi sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya hubungan kerja.
Lebih lanjut, pekerja memiliki hak untuk tidak menyetujui alasan PHK dan/atau besaran uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. Sebagai konsekuensi penolakan tersebut, perundingan PHK harus dilanjutkan melalui forum penyelesaian hubungan industrial. Dengan skenario seperti itu, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial.
Selain dari pada referensi hukum di atas, pengusaha dan pekerja harus pula mempertimbangkan pengaturan dalam Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja.
Pernyataan Penyangkalan: Perlu diingat bahwa seluruh tulisan dalam artikel ini tidak bisa dianggap sebagai Pendapat Hukum, sehingga apabila pembaca akan melakukan tindakan hukum lebih lanjut sehubungan dengan topik dari artikel ini, harap dapat menghubungi konsultan atau kantor hukum.
Penulis : Mery Enjelica Stephany Gumenggilung S.H. & Daniel Tampi S.H.