Dunia bisnis itu kejam, ga kenal kawan ataupun lawan, ga kenal perasaan, semua pesaing bisnis pasti dilibas..
Itulah kehidupan dunia bisnis yang selama ini kita kenal. Kawan saja bisa dimakan, demi keuntungan bisnis semata. Tidak ada yang namanya hati nurani di dalam dunia bisnis.
Padahal sejatinya, dunia bisnis sebetulnya tidak terpisahkan dari hati nurani dan etika dalam bekerja. Ideologi dasar berbisnis adalah mencari keuntungan dengan memberikan manfaat bagi orang lain.
Itulah sebabnya hati nurani seharusnya menjadi “rambu-rambu” yang terpasang di dalam hidup setiap manusia, yang memberikan sinyal untuk kita mengenali hal-hal mana yang boleh dilakukan dan hal mana yang tidak boleh kita lakukan dan harus kita hindari.
Seseorang yang menggunakan nurani dalam berbisnis, tidak akan pernah memakai fasilitas dan jabatan yang ia miliki hanya untuk memperkaya diri sendiri diatas kerugian dan kesengsaraan orang lain.
Persoalannya, seringkali keuntungan materi dan pertimbangan logis (hitung-hitungan) seringkali menyajikan data bahwa cara-cara yang tidak etis, curang, dan egois justru memberikan keuntungan materi yang jauh lebih banyak dibandingkan cara-cara yang terhormat.
Disinilah manusia dihadapkan dengan pilihan, apakah tetap mempertahankan integritas dan kemurnian hati nuraninya, atau justru mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya dengan jalan curang yang mengorbankan integritas dan hati nuraninya.
Hati nurani yang terus dilanggar akan membuat suara hati nurani orang itu menjadi mati, ia pun menjadi terbiasa dengan tindakan yang salah dan tidak lagi merasa salah. Barulah jika kesalahannya itu terbongkar, ia akan mengaku “khilaf” melakukannya untuk menutupi rasa malu atau menarik simpati orang lain.