Dalam Buku Sejarah yang kita pelajari dari SD hingga SMA, diceritakan bahwa Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta ‘diculik’ oleh para pemuda dan dibawa ke sebuah rumah di Rengasdengklok agar bersedia melakukan Proklamasi tanpa menunggu persetujuan Jepang. Nah, kali ini kita akan membahas sang pemilik dari rumah tersebut, yakni Djiauw Kie Siong.
Djiauw Kie Siong adalah seorang Tionghoa dari Suku Khek (Hakka), yang lahir tahun 1880 di Desa Pisangsambo, Karawang, Jawa Barat. Pada usia 8 tahun, Djiaw Koe Song pindah ke Desa Bojong, Rengasdengklok bersama kedua orang tuanya. Djiauw Kie Siong muda dan keluarganya hidup dari menanam sayur dan beternak babi, dan profesi itulah yang ia lakoni hingga berusia lanjut.
Selain itu, Djiauw Kie Siong juga menjual bambu dan membuat peti mati. Karena sumber pendapatannya beragam, ia pun mampu membangun rumah besar yang yang menjadi latar tempat Peristiwa Rengasdengklok pada 1920. Mengapa para pemuda memilih rumah milik Djiauw Kie Siong?
Pertama, rumah itu terletak 81 KM dari Jakarta dan 15 KM dari Jalan Pantura. Rengasdengklok sendiri kala itu masih belum banyak penerangan, jalannya masih buruk dan menurut penduduk setempat masih banyak setannya. Jadi, tentu saja lebih aman dan sulit bagi Jepang untuk menjangkau Dwitunggal Soekarno-Hatta.
Kedua, rumah beliau besar. Keluarga beliau sendiri tidak kecil, ia punya 9 anak. Karena itu, tentu rumah beliau sangat memungkinkan jika dipakai menginap oleh Soekarno-Hatta dan para pemuda.
Ketiga, Djiauw Kie Siong sendiri juga seorang pejuang. Ia pernah bergabung dengan PETA sebagai Prajurit. Karena alasan tersebut, Djiauw Kie Siong bukanlah pengkhianat NKRI atau antek penjajah sebagaimana yang kerap dituduhkan pada keturunan Tionghoa.
Kendati Djiauw Kie Siong memiliki andil jasa dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, ia hanya memperoleh imbalan berupa selembar piagam dari Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie.
-Hans
Editor: Armania Bawon Kresnamurti
Sumber:
Seri TEMPO: Aktivis Cina di Awal Republik. KPG, 2021