Konflik Besar di Ranah Minang

Bagikan Artikel ini :

Ave Neohistorian

Perang Paderi berakar pada kejadian di tahun 1803, ketika Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang pulang dari tanah suci usai melakukan ibadah Haji. Situasi Mekkah ketika trio Haji ini berangkat kesana sedang tidak kondusif akibat Keemiran Diriyah yang dipimpin Ibnu Saud memutuskan menantang Kekaisaran Ottoman dan menginvasi dua kota suci sembari menyebarkan pemahaman keagamaan bercorak Salafisme ala kelompok Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu Muwahiddun, yang oleh pihak Kekaisaran Ottoman disebut “Wahabi”.

Tergerak oleh keinginan untuk menegakkan “amar ma’ruf nahi mungkar”, trio Haji dan pendukungnya yang kemudian disebut Kaum Paderi ingin melakukan revolusi sosial. Mereka ingin menghapus praktik sabung ayam, minum miras, dan terutama menggusur sistem matrilineal (sistem waris berdasarkan garis keturunan perempuan) yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam. Para mamak yg menjadi tulang punggung dalam sistem itu pun meradang dan meletuslah Perang Paderi. Dari pihak Paderi dipimpin Tuanku Nan Renceh, sedangkan dipihak Adat ada Kerajaan Pagaruyung Darul Qadar Johan Berdaulat Zillullah fil Alam.
Kerajaan Pagaruyung sendiri didirikan oleh Adityawarman, seorang panglima perang Kerajaan Majapahit dan seorang penganut Tantra Bairawa. Adityawarman mendirikan Pagaruyung, setelah ia kalah beradu kerbau melawan Datuk Perpatih nan Sebatang dan Datuk Katumanggungan. Kerajaan Pagaruyung menerima ajaran Islam pada masa Sultan Alif berkat jasa seorang mubaligh asal Aceh yaitu Syekh Burhanuddin Ulkan.

Sedikit penjelasan mengenai struktur sosial masyarakat Minangkabau, tidak lama setelah terjadinya Islamisasi pada abad ke-16, sistem pemerintahan di Minangkabau menganut sistem Tigo Rajo yang terdiri dari Rajo Alam (raja dunia), Rajo Adat (raja hukum adat), dan Rajo Ibadat (raja agama). Ketiganya disebut sebagai Rajo Tigo Selo.
Kenyataannya, Monarki Pagaruyung tidak pernah berfungsi sebagai institusi pemerintahan di daerah inti (luhak nan tigo), yaitu di daerah Agam, Tanah datar, dan Limo Puluah Koto. Jantung Minangkabau yang disebut ‘
“Darek” tidak diperintah oleh raja, tetapi dipimpin oleh kepala adat dengan pola organisasi sosial yang condong egaliter. Daerah inilah yang menjadi basis gerakan Padri.

Tokoh inti Kaum Paderi sendiri yaitu Harimau nan Salapan yang berasal dari Agam Tuo dan terdiri dari Tuanku nan Renceh (Kamang), Tuanku Kubu Sanang (Pasia, Ampek Angkek), Tuanku Ladang Laweh (Banuhampu), Tuanku Padang Lua (Banuhampu), Tuanku Galuang (Nagari Sungaipua), Tuanku Koto Ambalau (Canduang Koto Laweh), Tuanku Lubuk Aua (Batu Balantai, Canduang) dan Tuanku Biaro (Biaro, Ampek Angkek). Kedelapan daerah diatas terletak di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, sedangkan keluarga Kerajaan Pagaruyung hanya memerintah daerah Rantau seperti Pasaman, Siak, Kampar, Gunung Kerinci, Danau Singkarak, Indragiri, dan Jambi. Oleh karena itu, Perang Paderi tidak hanya melibatkan Orang Minang saja, namun juga keluar dari batas-batas wilayah Sumatera Barat modern.

Konflik terbuka pertama antara Kaum Paderi dan Kaum Adat melibatkan penyerangan terhadap Istana Pagaruyung pada tahun 1809. Tuanku Lelo, seorang komandan Kaum Padri, menganggap keluarga kerajaan tidak menjalankan akidah Islam secara benar.

Pada tahun 1815, serangan dilakukan kembali di bawah komando Tuanku Lintau. Dalam serangan kali ini, hampir seluruh keluarga kerajaan gugur dan Sultan Muning Alamsyah yang selamat kemudian melarikan diri ke Lubukjambi. Karena terdesak Kaum Paderi, keluarga kerajaan kemudian meminta bantuan kepada Kerajaan Belanda.

Pada tanggal 10 Februari 1821, Sultan Alam Bagagarsyah beserta 19 orang pemuka adat lain menandatangani perjanjian penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada Belanda. Sebagai imbalannya, Kerajaan Belanda akan membantu berperang melawan Kaum Paderi. Selain itu, sultan yang telah menyerahkan kerajaannya kemudian diangkat sebagai Regent (setara Bupati) di Pagaruyung.

Setalah penandatanganan perjanjian, Pertempuran terus terjadi hingga dibuatnya gencatan senjata pada tahun 1825 yang dikenal sebagai perjanjian Masang. Selama era gencatan senjata, Kaum Paderi berusaha mendekati Kaum Adat dan melahirkan semboyan kompromistis ala Suku Minang yang memadukan agama dan adat yaitu “Adaik basandi syarak, Syarak basandi Kitabullah. Sanda manyanda kaduonyo. Pinang masak bungo bakarang Timpo batimpo saleronyo Jatuah baserak daun sungkai. Tiang batagak sandi dalang. Kokoh-mangokoh kaduonyo, Adaik jo syarak takkan bacarai. Adaik basandi syarak, Syarak basandi Kitabullah, Syarak mangato adaik mamakai. Camin nan indak kabua, Palito nan indak padam. Alam takambang jadi guru. Adaik basandi syarak, Syarak basandi Kitabullah”.

Belanda sendiri bersedia melakukan gencatan senjata dengan Kaum Paderi karena disaat bersamaan di Jawa pada tahun 1825, meletus Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro menyerukan jihad melawan Kerajaan Belanda dan menjadikan dirinya sebagai Senopati ing Ngalaga Sayidin Panotogomo Kalipatullah ing Tanah Jawi. Sementara itu, rakyat Belgia juga memberontak melawan kekuasaan Raja Belanda keturunan Jerman, Wilhelm Friedrich von Oranien Nassau. Mereka lantas mengangkat Raja baru yaitu seorang bangsawan Jerman bernama Leopold Georg Christian Friedrich von Sachsen Coburg Gotha.

Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, Kerajaan Belanda kembali melancarkan perang kepada Kaum Paderi yang telah beraliansi dengan Kaum Adat pada tahun 1830. Kaum Paderi kini dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol yang menggantikan Tuanku Nan Receh. Salah satu bekas komandan Diponegoro, Sentot Ali Basah Prawirodirjo juga membantu Kerajaan Belanda, namun kemudian dia membelot ke Kaum Paderi dan lalu dibuang ke Bengkulu.
Periode 1830-1833 kemudian memicu kontroversi historiografi yang berujung polemik. Menurut Samuel Hutagalung, selama periode ini, Imam Bonjol memanfaatkan wilayah Pagaruyung yang berbatasan dengan Tapanuli Selatan untuk menginvasi Tanah Batak dan membunuh Sisingamangaraja X serta melakukan serangkaian “Teror Putih” terhadap Suku Batak.

Namun, pendapat itu ditolak oleh Buya Hamka yang menegaskan bahwa teori-teori itu berasal dari Orang Jerman bernama Claus Gabriel dalam artikelnya yang berjudul “Kriekzug der Bonjol unter Anführung des Tuanku Rao in Bataklande”, yang merupakan Zussammensgetragen (hasil pengumpulan) dari sumber lisan yang diterima dari Guru Kenan Hutagalung, Pendeta Henoch Lumbantobing, dan Saoloan Gultom. Menurut Hamka, cerita ketiga orang tersebut tidak bisa dibuktikan.

Perang Paderi mendekati akhir pada 2 Mei 1833 ketika Sultan Alam Bagagar Syah dari Pagaruyung ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan karena berkoalisi dengan kelompok Paderi. Sultan kemudian dibuang ke Betawi, dan akhirnya meninggal dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua. Sedangkan, Tuanku Imam Bonjol sebagai komandan Kaum Paderi juga ditangkap pada tahun 1837 dan ditaklukannya Benteng Dalu-Dalu di Rokan Hulu mengakibatkan Tuanku Tambusai melarikan diri ke Negeri Sembilan (sekarang Malaysia).

Dengan ini, Perang Paderi pun selesai…

Sumber :
-Ahmad Fakhri Hutauruk. Sejarah Indonesia : Masuknya Islam Hingga Kolonialisme. Yayasan Kita Menulis, 2020
-Bungaran Antonius Simanjuntak. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba: Bagian Sejarah batak (edisi revisi). Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1994
-Muhamad Radjab. Catatan di Sumatra ( Balai Pustaka). Kepustakaan Populer Gramedia, 2020
-Steven Drakeley. The History of Indonesia. ABC-CLIO, 2005

-Hanafi Wibowo
Editor : Veronica Septiana Setiawati (Anna Lim)

Bagikan Artikel ini :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *