Ave Neohistorian! Jalan Malioboro (ꦢꦭꦤ꧀ꦩꦭꦶꦪꦧꦫ, Dalan Maliabara) adalah jantung dan merupakan ikon yang tidak terpisahkan dari kota Yogyakarta. Jalan Malioboro berdiri bertepatan dengan pendirian Kraton Yogyakarta pada tahun 1775. Dalam bahasa Sanskerta, nama “Malyabhara” yang berarti karangan bunga. Hal itu berdasarkan teori bahwa nama Yogyakarta sendiri adalah pelafalan Jawa dari nama Ayodhya, yang merupakan nama Kerajaan tempat Avatar Vishnu ke-7, Sri Rama, tempat ia tinggal dan memerintah. Maka dengan logika yang sama, sangat mungkin nama Jalan Malioboro diambil dari nama Sanskrit pula.
Baca juga : Paris van Sumatera
Eksistensi Jalan Malioboro tidak terlepas dari “poros imajiner Yogyakarta ” yang ingin menciptakan titik pertemuan antara manusia dengan Sang Pencipta (Ḥablun min Allāh), hubungan manusia dengan sesamanya (Ḥablun min an-Nās), serta manusia dengan kelima elemen yakni Air (Tirta) dari Laut Selatan, Tanah (Bantala) dari Bumi Yogyakarta, Api (Dahana) dari Gunung Merapi, Udara (Maruta), dan Angkasa (Ether). Jalan Malioboro sendiri disebut sebagai perlambang manusia dewasa, sedangkan Panggung Krapyak sebagai simbolisasi kelahiran manusia dan Tugu Pal Putih melambangkan manusia yang wafat dan menuju akhirat.
Karena letak dan peranan yang penting itu, Jalan Malioboro menjadi pusat ekonomi dan dihuni oleh pelbagai suku bangsa, terutama sejak Belanda membangun Benteng Vredeburg tahun 1790. Setelahnya, warga Belanda dan para pedagang Tionghoa menempati bagian utara dan selatan jalan tersebut. Hal itu turut membuat bangunan pertokoan di sepanjang Malioboro mempunyai beragam arsitektur. Jika dihitung, maka arsitektur Pecinan (Tionghoa) mendominasi 52% bangunan di Malioboro, disusul Eropa 29% bangunan, dan arsitektur Modern di Malioboro Tengah (sekitaran Malioboro Mall) yang kurang lebih sekitar 19%.
-陳 進 翰
Editor : Armania Bawon Kresnamurti
Sumber :
Dani, Adinda Rafika&Wijono, Djoko. 2017. TEMU ILMIAH IPLBI. Tipomorfologi Fasade Bangunan Pertokoan di Sepanjang Ruas Jalan Malioboro, Yogyakarta.