Sebagai tuan rumah Asian Games, tentu dibutuhkan sebuah gelangang olahraga yang besar. Bung Karno mengajukan permintaan terhadap Pemimpin Uni Soviet kala itu, Nikita Khrushchev. Bung Karno yang waktu itu bertandang ke Uni Soviet kagum dengan Stadion Luzhniki dan kemudian meminta dibangunkan stadion yang mirip Luzhniki di Jakarta.
Nikita Kruschev mengabulkan permintaan Bung Karno dan dibangunlah Gelora Bung Karno yang dapat diisi 100.000 orang itu oleh arsitek dan insinyur dari Uni Soviet. Stadion ini sendiri didanai oleh pinjaman kredit lunak dari Uni Soviet sebesar 12,5 juta dolar AS. Konstruksi dimulai pada 8 Februari 1960, setelah dilakukannya penggusuran terhadap ribuan orang Betawi di empat kampung, yakni Senayan, Petunduan, Bendungan Udik, dan Pejompongan, di mana mereka kemudian dipindahkan ke Tebet.
Pembangunan Gelora Bung Karno selesai tepat waktu pada 21 Juli 1962, sehingga upacara pembukaan Asian Games ke-IV tahun 1962 bisa dilangsungkan di sana dan dihadiri oleh lebih dari 110.000 orang. Pada Pidatonya, Bung Karno mengatakan bahwa peristiwa ini merupakan tonggak sejarah bagi Bangsa Indonesia, khususnya di bidang olahraga yang merupakan bagian dari Nation and Character Building.
Setahun kemudian, karena Indonesia diskors oleh IOC akibat menolak keikutsertaan Taiwan dan Israel, maka pada tahun 1963, Bung Karno mengadakan GANEFO (Games of The New Emergencing Forces), sejenis Olimpiade versi Negara Kekuataan Baru yang terdiri atas negara dunia ketiga ditambah negara Komunis yang kuat. Pesta olahraga ini berhasil membuat IOC mencabut skors atas Indonesia dan membuat nama Indonesia makin disegani.
Setelah Bung Karno lengser, nama Gelora Bung Karno diubah menjadi Gelora Senayan oleh Presiden Soeharto sebagai langkah De-Soekarnoisasi guna mengikis sisa pengaruh Orde Lama. Namun setelah Orde Baru tumbang, nama Gelora Bung Karno dipulihkan kembali oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
-Nanda
Editor: Amanda
Sumber:
Pour, Julius (2004), Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno. Grasindo.