Sejarah Sabun Lifebuoy

Sejarah Sabun Lifebuoy Hingga Sampai di Indonesia

Bagikan Artikel ini :

Ave Neohistorian!

Bakteri dan kuman telah memberikan sejarah kelam bagi Inggris, di mana wabah Black Death membunuh ratusan juta rakyat dunia. Wabah serupa juga kembali menyerang London pada tahun 1665. Pada abad ke-19, banyak pasien di Inggris yang tewas sia-sia karena terserang infeksi pasca operasi. Hal ini diakibatkan oleh tidak higienisnya peralatan dan fasilitas kesehatan pada masa itu. Kesadaran akan pentingnya kebersihan mulai muncul pada tahun 1847, ketika dokter Hungaria keturunan Jerman bernama Ignaz Semmelweis memperkenalkan prosedur cuci tangan yang benar kepada para tenaga medis.

Tahun 1885, William Hesketh Lever dan James Hesketh Lever melanjutkan toko kelontong sederhana milik ayahnya dan mencoba untuk menekuni bisnis sabun. Mereka bermitra dengan William Hough Watson dengan nama Lever Brother (Cikal Bakal Unilever). Produk sabun pertama mereka menggunakan bahan gliserin dan minyak nabati, menciptakan Honey Soap yang kemudian berganti nama menjadi Sunlight Soap. Dikarenakan Sunlight Soap sukses merambah pasar, inovasi terus dilakukan dengan menciptakan sabun karbol mengandung fenol, yang diberi nama Lifebuoy pada tahun 1895. Lifebuoy memiliki peran dalam lintas sejarah, di mana pada masa Perang Dunia I, Lifebuoy disumbangkan kepada para tentara Inggris di medan perang agar tetap higienis. Kemudian pada Perang Dunia II, mobil van Lifebuoy berisikan handuk, shower dan sabun menjelajah di tengah masyarakat Inggris untuk mereka yang membutuhkan fasilitas sanitasi.

Kesuksesan sabun batang Lifebuoy ini tidak diragukan lagi, terutama di pasar Indonesia. Sabun batangan Lifebuoy, khususnya yang original berwarna merah seakan menjadi sabun seluruh rakyat, entah itu muda atau tua, kaya atau pra sejahtera, laki atau perempuan, semuanya menggunakan sabun batang Lifebuoy.

-Jonathan Vivaldy
Editor : Berniko Surya

Sumber :
Timothy Burke. Lifebuoy Men, Lux Women: Commodification, Consumption, and Cleanliness in Modern Zimbabwe. Duke University Press, 1996.

Bagikan Artikel ini :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *